...Kemudian Yudha menghentikan tawanya, mendekatkan wajahnya ke Miranda
yang masih terhipnotis manisnya derai tawa tadi. Menciumnya.
***
Miranda terbangun. Jam 3 dini hari, diliriknya dari handphonenya. Selimutnya terjatuh dari kasur. Keringat membasahi lehernya. AC kamarnya mati karena dipasangi timer.
Miranda menghela nafas.
'Mimpi buruk lagi,' batinnya. Ia putuskan ke ruang tengah mengambil air minum.
Sepi sekali. Orang-orang rumahnya sudah tidur. Hanya ia duduk di ruang makan dengan segelas air putih. Sudah dua minggu sejak ia kembali ke Jogja. Memutuskan untuk mengerjakan proyeknya dari jauh. Dua minggu, sejak ia memutuskan meninggalkan Lombok. Itu waktu yang sama sejak Yudha menciumnya dilatari sunset Tanjung Bloam di Lombok.
Ah, Lombok. Ia rindu pulau itu. Rindu ramah penduduknya. Rindu bersepeda di pinggir pantai. Rindu ombak-ombak putih yang terbelah tebing-tebing tinggi di Lombok Timur. Dan Yudha.
'Iiiiih, kenapa inget dia lagi sih?!' Miranda merutuki kebodohannya sendiri. Ingatannya memutar kembali saat ia begadang di kantor dengan Yudha, terburu-buru mengetik laporan karena paginya akan ada rapat dengan para investor.
"Ini semua gara-gara kamu nih! Gara-gara kamu ngajakin aku ngobrol melulu dan keliling nyari kelapa muda, laporan jadi terbengkalai gini. Sekarang kita malah terjebak di kantor buru-buru menyelesaikan laporan. Padahal harusnya aku udah peluk guling nih!" Miranda ngedumel, sambil terus mengetik laporan. Matanya memicing menatap layar laptop.
"Enak aja! Ini bukan gara-gara aku. Ini gara-gara kamu sendiri tau! Gara-gara kamu ngga bisa memendam hasrat pengen terus ngobrol sama aku, cause i'm fun to talk with. And sexy. And not to forget, a good kisser," jawab Yudha dari meja sebelah.
Miranda membeku. Malam terasa lebih dingin walaupun ia tak menyalakan pendingin ruangan kerjanya. Ia masih ingat ciuman mereka kala sunset waktu itu. Miranda tak menolak, juga tak membalas. Hanya menikmati rasanya yang hangat, dan manis.
Wajahnya memerah mengingat itu semua. Ia palingkan wajahnya untuk menyembunyikan malu. Sedangkan di sebelahnya Yudha diam, sibuk mengutuk dirinya sendiri karena telah mengeluarkan kalimat-kalimat tadi.
"Aku kerjain laporannya di kamar aja. Besok kamu tinggal terima beres," sahut Miranda, tiba-tiba berdiri, memeluk laptopnya, keluar dari kantor, berjalan ke arah kamarnya yang berada satu bangunan dengan kantor. Meninggalkan Yudha dalam sunyi.
***
"Kita kenapa, Miranda?" tanya Yudha.
"Kita ngga pernah ada apa-apa! Dan ngga ada kenapa," jawab Miranda, sibuk mengemasi barang-barangnya. Yudha berdiri di depan pintu kamarnya.
"Trus ini apa? Ngapain kamu ngepak barang-barang dan ninggalin proyek ini gitu aja?" tanya Yudha lagi.
"Aku ngga ninggalin proyek ini. Aku akan tetap bertanggung jawab mengurus proyek ini. Tapi dari Jogja." Miranda menutup retsleting kopernya.
"Miranda Bagaskara, please be cooperative. I'm sorry about the kiss, okay? I'm really sorry."
Miranda selesai mengemasi semua barangnya. Menoleh melihat Yudha dengan wajah gemas.
"Bisa-bisanya kamu minta aku kooperatif seperti itu. Yang harusnya kooperatif itu kamu! I'm not leaving the project. And it's not because the kiss!" bentak Miranda.
"Oh, come on. Don't lie to me, M. Harusnya kamu profesional! Jangan gara-gara masalah pribadi terus seenaknya main tinggal kerjaan!"
Miranda menatap marah.
"Kamu, Lalu Yudha Parasatya, kamu yang harusnya profesional. Kamu yang harusnya ngga sembarangan mencium rekan kerja kamu seenaknya! Kamu, yang mencampuradukkan kisah pribadi ke urusan pekerjaan profesional kita!" raung Miranda. Setetes airmata jatuh di pipinya.
Dan Yudha merasakan sakit di dadanya hanya dengan melihat airmata itu terus mengalir dari mata Miranda.
"Now if you don't mind, i have a flight to catch to. Goodbye." Miranda menyeret kopernya keluar kamar.
Untuk kesekian kalinya Yudha hanya bisa menatap punggung gadis itu berjalan menjauh. Kali ini, mungkin ia tak akan kembali.